Saatnya Mengadu

 Hari ini 1 Maret 2024. Ibu mertuaku meninggalkan kami untuk selamanya. Wanita yang senantiasa menjadi tempat curhat ternyaman. Wanita yang selalu dengan vibes positifnya. Wanita yang dengannya lah aku bisa mengadukan apa yang tidak bisa kukatakan kepada suamiku. Sekarang telah pergi untuk selamanya. 

Allah mengambilnya dengan begitu tiba-tiba tanpa ada aba-aba. Ya, sebuah kecelakaan mobil tragis berisikan empat penumpang diatas sebuah truk. Hanya ibu mertuaku yang diambil. Berpulang diatas mobil dalam keadaan tidur. Sedangkan tiga penumpang lainnya selamat tak kurang suatu apapun. 

Sungguh akhir kehidupan yang indah untuk seorang muslim. Khusnul Khatimah. Semoga ibu tidak merasakan sakitnya sakaratul maut, sebab ibu sudah pasti berdoa saat menaiki kendaraan dan memejamkan mata karena kelelahan sehabis panen padi.

Berselang enam hari kemudian. 

Kamis, 7 Maret 2024. 

Aku mendapatkan kabar dari pondok tempat putriku belajar, bahwa ia dilarikan ke Rumah Sakit karena sakit perut yang tak tertahankan setelah diinfus di pondok sebanyak 4 ampul. Ia berada di Palembang sedangkan kami berdomisili di Kepahiang, 10 jam perjalanan panjang. Hari itu juga, kami langsung meluncur ke rumah sakit untuk menjemput ananda pulang. Membawa serta ketiga anakku yang lain, yang berumur 10, 8 dan 5 tahun. 

Sesampainya di rumah sakit. Kulihat perutnya sudah besar, keras dan sakit merata diseluruh bagian tubuh. Bahkan mau ke kamar mandi pun dia sudah tidak sanggup. Entahlah, mengapa Allah menggiring kami ke rumah sakit ini, yang menurutku pelayanannya sedikit lamban. Tapi fasilitas okelah untuk rumah sakit yang ditanggung BPJS. Dari awal aku ingin mengajukan pindah RS karena kudengar dari temanku kalau reputasi RS ini tidak begitu baik. Hanya bangunannya yang oke, tapi lamban dalam pelayanan. Terbukti dengan masuknya anakku ke RS ini dengan kondisi sedemikian rupa, baru diberikan rujukan USG di hari Sabtu. 

Dari hasil USG, dokter menyatakan bahwa perutnya sudah penuh dengan darah dan nanah, menandakan adanya infeksi. Lalu malamnya kami didatangi oleh dokter bedah yang menjelaskan dengan sederhana kalau penyebab infeksi tersebut adalah usus buntu yang sudah perforasi (pecah). Sehingga menginfeksi tempat lain di dalam perut. Kami tidak memiliki kesempatan untuk berfikir pendapat lain. Anak gadisku diminta untuk operasi besok paginya (hari Minggu). Dokter menyebutnya laparotomi. Hal ini sangat menyakitkan. Kukira hanya operasi usus buntu biasanya. Ternyata mirip dengan operasi sesar. Dengan luka besar. 

Keesokan paginya kami menuju ruang operasi dengan penuh harap dan doa. Lalu seorang dokter anestesi menghampiri, "Bu, kenapa anaknya baru ditindak sekarang? Saturasi oksigennya sudah 80, sedangkan yang normal diatas 95. Artinya infeksinya sudah masuk ke dalam darah. Jadi apapun bisa terjadi di meja operasi, bisa saja anak ibu menemui kemungkinan terburuknya, meninggal. Yang jelas kami usahakan sebaik mungkin. Ibu berdoa saja."

Lalu ia segera masuk bersamaan dengan perawat yang mendorong tempat tidur anakku menuju ruang operasi.

Bagaikan petir menyambar. Darahku seketika berdesir, lutut gemetar. Tidak tahu harus kemana mengadu. 

Aku menyampaikan suara dokter bius tadi melalui rekaman langsung kepada suamiku. Kupikir dia bisa dijadikan tempat bersandar, ternyata dia terluka lebih dalam. Biasanya disaat seperti ini, ada ibu mertua yang jadi tempat ku berbagi. Sekarang? Sudah tidak ada lagi. Ibu kandungku? Ada. Hanya saja dia mengidap gerd. Jadi tidak bisa diberi pikiran yang jelek. Jadilah kami berdua menangis sesenggukan di ruang tunggu operasi tanpa perduli siapa saja yang lewat. 

Aku membaca surah Yasin melalui gawai, karena sedang haid. Sedangkan suamiku mengambil wudhu lalu sholat tanpa henti selama operasi berlangsung. 

2 jam 10 menit. Itulah waktu yang dibutuhkan dokter untuk menyelesaikan operasi anakku. Ketika keluar ruang operasi, dia sudah sadar. Ada selang yang terhubung ke lambungnya, banyak sekali cairan warna hijau. Di kantong penampung di ujung selang. Ada juga selang di bagian perut yang mengeluarkan sisa nanah dan darah. 

15 jahitan. Itulah jumlah jahitan yang anak gadisku terima di meja operasi.





Setelah operasi selesai, aku baru memberitahu kabar ini kepada ibuku. Beliau malah menghardik ku, " makanya dari dulu ibu tidak pernah setuju kalian mengirimnya ke pondok, jauh dari rumah, jauh dari pengawasan orang tua, orang lain tidak mungkin mengurusi anak kita sebaik kita di rumah," yang ditutup dengan isak tangis ibu di ujung sambungan telepon. 

Biasanya pasien dengan keluhan seperti ini bisa pulang dan melanjutkan perawatan di rumah dalam 3-5 hari. Sedangkan kami sudah memasuki hari ke 10 pasca operasi dan masih menginap di rumah sakit, sekeluarga. Sebab anakku sering mengeluh demam dan demamnya cukup tinggi 39°C keatas setiap demam. Untuk itu dokter memasukkan antibiotik baru, meropenem yang jarang digunakan. Hanya pada kasus berat Sajam dan itulah yang membuat kami belum bisa membawa anak gadis pulang ke rumah.

Hari ini, masih di rumah sakit. Ingin mengisi tapi harus menghindar dari pandangan anak gadis. Ini juga merupakan sahur ke 7 ramadhan di rumah sakit. 

Sungguh luar biasa nikmat yang Allah berikan. Semoga aku bisa bertahan atas nama Allah.

Hal ini juga membuatku meragu apakah mesti mengirimnya kembali ke pondok? Anak gadisku kelas IX SMP dan sudah diterima di pondok Salatiga yang lebih jauh lagi perjalanannya. 





Comments